Stigma sosial terkait Covid-19
From Wikipedia, the free encyclopedia
Stigma sosial terkait Covid-19 merupakan asosiasi negatif terhadap seseorang atau kelompok yang mengalami gejala maupun menderita penyakit ini. Corona virus disease 2019 (Covid-19) pertama kali dideteksi pada akhir Desember 2019 di Kota Wuhan, Hubei, Tiongkok dan menyebabkan 762.201.169 kasus di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai 6.893.190 kasus. Di Indonesia sendiri tercatat sebanyak 6.750.183 orang yang pernah terinfeksi virus ini, sebanyak 0,1% masih terjangkit aktif, sebanyak 2,4% di antaranya meninggal dunia, dan 97,5% telah dinyatakan sembuh.[1] Meski angka pasien sembuh lebih tinggi dari kasus aktif dan angka kematian, hal tersebut tidak membuat orang-orang terlepas dari stigma ini.
Artikel ini memiliki beberapa masalah. Tolong bantu memperbaikinya atau diskusikan masalah-masalah ini di halaman pembicaraannya. (Pelajari bagaimana dan kapan saat yang tepat untuk menghapus templat pesan ini)
|
Para pasien terkadang mendapatkan label, stereotipe, diskriminasi, bahkan sampai diperlakukan secara terpisah dan kehilangan status sosial karena memiliki hubungan, baik secara langsung maupun tidak dengan penderita.[2] Tidak jarang stigma sosial menjadikan individu tersebut sebagai sasaran rasisme, kebencian, xenofobia, sampai serangan fisik.[3] Bahkan, tindakan ekstrem para pelaku stigma sosial juga menolak penggunaan masker dan penentangan secara terbuka untuk tidak menaati protokol pencegahan Covid-19. Kelompok yang paling rentan menjadi korban dari stigma sosial ialah orang-orang Asia, khususnya mereka yang memiliki keturunan atau berpenampilan Asia Timur dan Asia Tenggara[4].
Kelompok lainnya yang juga terdampak atau menjadi sasaran stigma sosial adalah orang-orang yang telah bepergian ke luar negeri, mereka yang baru saja menyelesaikan karantina, bahkan profesional kesehatan, dan para pekerja layanan darurat. Merespon hal ini, Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga India (MOHFW) sampai mengeluarkan siaran pers yang bertujuan untuk membatasi ketakutan masyarakat terkait stigma sosial tersebut.