Pendudukan Turki di Suriah utara
artikel daftar Wikimedia / From Wikipedia, the free encyclopedia
Angkatan Bersenjata Turki dan sekutunya Tentara Nasional Suriah menduduki[10][11] area-area di Suriah bagian utara sejak Agustus 2016, selama Perang Saudara Suriah. Meskipun area-area ini mengaku sebagai pemerintah yang berafiliasi dengan oposisi Suriah, pada praktiknya mereka membentuk sebuah proto-negara terpisah[12] di bawah dual otoritas yaitu dewan lokal asli dan administrasi militer Turki yang terdesentralisasi.
Zona pendudukan Turki di Suriah utara | |
---|---|
Bendera Kemerdekaan Suriah dan bendera Turki; keduanya digunakan dengan luas di zona ini.[1][2][3][4] | |
Area Operasi Perisai Eufrat (2016) Area Operasi Ranting Zaitun (2018) Area Operasi Musim Semi Damai (2019) | |
Ibu kota | Azaz[5] |
Bahasa resmi | |
Pemerintahan | Pemerintah sementara (dua otoritas dewan lokal dan administrasi militer yang terdesentralisasi) |
• Presiden | Salem al-Meslet |
• Perdana Menteri | Abdurrahman Mustafa |
• Menteri Pertahanan | Salim Idris |
Pemerintahan sendiri di bawah pendudukan militer | |
• Intervensi pertama | 24 Agustus 2016 |
• Intervensi kedua | 20 Januari 2018 |
• Intervensi ketiga | 9 Oktober 2019 |
Luas | |
- Total | 8.835[7][8][9] km2 |
Mata uang | Pound Suriah, lira Turki,[2] dolar Amerika Serikat |
Area-area kontrol Turki di Suriah seluas 8.835 kilometer persegi yang meliputi lebih dari 1000 permukiman, termasuk kota seperti al-Bab, Azaz, Jarabulus, Rajo, Tal Abyad dan Ras al-Ayn. Mayoritas permukiman ini dicaplok dari kelompok Negara Islam Irak dan Syam (IS) dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), keduanya dicap sebagai organisasi teroris oleh pemerintah Turki, meskipun beberapa kota, seperti Azaz, berada di bawah kontrol oposisi Suriah sebelum intervensi oleh Turki. Pemerintah Sementara Suriah berpindah ke teritori kontrol Turki dan mulai memperluas sebagian wewenang di sana, termasuk menyediakan dokumen untuk warga negara Suriah. Area-area ini dirujuk sebagai "zona-zona aman" oleh otoritas Turki.[13] Pendudukan ini diduga menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia di beberapa area, termasuk pembersihan etnik.[14][15][16][17]