Pendudukan Indonesia atas Timor Timur
Pendudukan militer di Timor Timur sejak 1975 hingga 1999 / From Wikipedia, the free encyclopedia
Pendudukan Indonesia atas Timor Timur dimulai pada bulan Desember 1975 dan berlangsung hingga Oktober 1999. Setelah berabad-abad diperintah oleh Portugis, kudeta tahun 1974 di Portugal memicu dekolonisasi di bekas koloninya, menciptakan ketidakstabilan di Timor Timur dan ketidakpastian akan masa depannya. Setelah perang saudara berskala kecil, Fretilin yang pro-kemerdekaan mendeklarasikan kemenangan di ibu kota Dili dan mendeklarasikan kemerdekaan Timor Timur pada tanggal 28 November 1975.
Pendudukan Indonesia di Timor Timur | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari Perang Dingin | |||||||
Lokasi Timor Timur, dengan menampilkan negara-negara tetangga. | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Didukung oleh: Amerika Serikat (hingga 1991) Australia (hingga 1991) Britania Raya (hingga 1991, dukungan senjata hingga 1997) Kanada (hingga 1991) Jepang (hingga 1991) Malaysia (hingga 1991) |
Didukung oleh: Australia (1999) Britania Raya (1999) Filipina (1999) Jepang (1999) Kanada (1999) Korea Selatan (1999) Libya Malaysia (1999) Mozambik Portugal Uni Soviet (1975–1991) Rusia (1991–1999) Thailand (1999) Tiongkok (1975–1999) | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Soeharto B. J. Habibie Maraden Panggabean Muhammad Jusuf L. B. Murdani Dading Kalbuadi Try Sutrisno Edi Sudradjat Feisal Tanjung Wiranto Prabowo Subianto José Abílio Osório Soares Eurico Guterres |
Francisco Xavier do Amaral Nicolau dos Reis Lobato † Mari Alkatiri Taur Matan Ruak Nino Konis Santana † Ma'huno Bulerek Karathayano Xanana Gusmão Rogério Lobato David Alex † Keri Laran Sabalae † | ||||||
Korban | |||||||
2.277 tentara dan polisi Indonesia tewas 1.527 milisi Timor Timur tewas 2.400 terluka Total: 3.408 tewas dan 2.400 terluka[1] | Perkiraan berkisar antara 100.000–300.000 orang tewas (lihat di bawah) |
Dengan klaim bahwa pemimpin-pemimpin di Timor Timur meminta bantuan, pasukan militer Indonesia melakukan invasi ke Timor Timur pada tanggal 7 Desember 1975 (atas desakan Australia dan dukungan Amerika Serikat[2][3]), dan pada 1979 militer Indonesia telah menghancurkan semua perlawanan terhadap pendudukan Indonesia di Timor Timur. Setelah diadakannya suatu pemungutan suara yang dianggap kontroversial karena dikatakan tidak sesuai dengan keinginan rakyat Timor Timur yang sesungguhnya, Indonesia mendeklarasikan wilayah Timor Timur sebagai provinsi Indonesia (provinsi Timor Timur).
Segera setelah invasi, Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang mengecam tindakan Indonesia di Timor Leste dan menuntut untuk segera menarik pasukan dari kawasan. Hanya Australia dan Indonesia saja yang mengakui Timor Timur sebagai provinsi, dan segera setelahnya mereka memulai negosiasi untuk berbagi sumber daya yang ditemukan di Celah Timor. Pemerintah lain, termasuk di antaranya Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan Malaysia, juga mendukung pemerintah Indonesia. Namun, invasi Timor Leste dan juga pemberangusan terhadap gerakan kemerdekaan di sana telah menyebabkan kerusakan hebat pada reputasi dan kredibilitas Indonesia di mata internasional.[4][5]
Selama dua puluh empat tahun, pemerintah Indonesia melakukan penyiksaan, perbudakan seksual, pembunuhan di luar hukum, pembantaian, dan kelaparan yang disengaja secara rutin dan sistematis.[6] Pembantaian Santa Cruz tahun 1991 menyebabkan kemarahan di seluruh dunia, dan sejumlah laporan tentang pembantaian-pembantaian lainnya juga mencuat. Walaupun begitu, perlawanan terhadap pemerintah Indonesia tetap kuat; pada tahun 1996 Hadiah Nobel Perdamaian diberikan kepada dua orang pria dari Timor Timur, Carlos Filipe Ximenes Belo dan José Ramos-Horta, atas usaha mereka untuk mengakhiri pendudukan secara damai. Referendum (pemungutan suara) pada 1999 untuk menentukan masa depan Timor Timur menghasilkan mayoritas yang mendukung kemerdekaan, dan pada tahun 2002 Timor Timur menjadi negara merdeka. Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi di Timor Timur memperkirakan jumlah korban tewas selama pendudukan dari kelaparan dan kekerasan berada di antara 90.800 dan 202.600 dan termasuk antara 17.600 dan 19.600 kematian atau menghilang karena kekerasan, dari populasi 1999 yang mencapai sekitar 823.386 orang. Komisi ini menyatakan bahwa pasukan militer Indonesia yang bertanggung jawab atas sekitar 70% pembunuhan akibat kekerasan.[7][8][9]
Setelah pemungutan suara tahun 1999 untuk memilih kemerdekaan, kelompok paramiliter yang bekerja dengan militer Indonesia melakukan gelombang kekerasan di mana sebagian besar infrastruktur di Timor Timur hancur. Pasukan Internasional yang dipimpin oleh Australia di Timor Timor bertugas untuk memulihkan ketertiban. Setelah kepergian pasukan Indonesia dari Timor Timur, Administrasi Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Timur mengelola wilayah tersebut selama dua tahun, membentuk Unit Kejahatan Berat untuk menyelidiki dan mengadili kejahatan yang dilakukan pada tahun 1999. Karena cakupan Unit yang terbatas serta rendahnya vonis yang dikeluarkan pengadilan Indonesia atas keterlibatan Indonesia di Timor Timur, banyak pengamat meminta pengadilan internasional untuk Timor Timur.[10]
Universitas Oxford mengadakan konsensus akademis dan hasilnya menyebut pendudukan Indonesia di Timor Timur sebagai genosida. Universitas Yale memakai kasus Timor Timur dalam kurikulum bagian dari program "Studi Genosida".[11][12]